Share dulu ya sob
Facebook
Google+
Twitter
JAKARTA- Pengamat hukum tata negara dari Universitas Negeri Semarang, Arif Hidayat menilai keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bisa menjadi pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mengambil keputusan.
"Kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif membutuhkan bukti, saksi, dan keputusan lembaga lain. DKPP bisa memperkuat bukti pemohon dan termohon," ungkapnya, Senin (11/8/2014)
Namun, sidang DKPP berjalan lambat. Bahkan, Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie sempat mengatakan pihaknya justru menunggu keputusan MK agar sinkron. Padahal, menurut Arif idealnya DKPP yang lebih dulu mengambil keputusan ketimbang MK.
"DKPP dan MK berkaitan. Putusan DKPP menjadi rujukan dan dokumentasi untuk pertimbangan MK. Seharusnya sidang DKPP dulu, baru MK. Tapi regulasi di Indonesia belum mengatur teknis peradilan pemilu," terangnya.
Arief menambahkan sembilan hakim MK yang menangani PHPU presiden dan wakil presiden harus bersikap adil. Jika kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa bisa membuktikan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), harus menggelar penghitungan suara ulang, pemungutan suara ulang, atau bahkan pemilu ulang. "Pilihannya tiga itu," katanya.
Dia mengatakan PHPU presiden dan wakil presiden di MK memberikan pendidikan hukum ketatanegaraan. Tidak hanya bagi lembaga negara tapi juga masyarakat.
"Ini pembelajaran hukum ketatanegaraan, bukan pertarungan kepentingan. Pendidikan bukan hanya untuk lembaga negara, tapi untuk masyarakat dan negara, karena baru kali ini capres-cawapres head to head," ujar Arif. (//ugo)
Download dan nikmati kemudahan mendapatkan berita melalui Okezone Apps di Android Anda.