Share dulu ya sob
Facebook
Google+
Twitter
Ilustrasi (Foto:Okezone) JAKARTA - Tim Kampanye Nasional pasangan nomor urut satu yang diketuai oleh Mahfud MD, mendatangkan mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, untuk menjelaskan mengenai isu pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM).
"Saat ini kami dari tim kampanye nasional menyisipkan satu acara yang pendek, tapi penting terkait isu simpang siur tentang status hukum Prabowo dalam kasus masa lalu, di mana dihembuskan seakan-akan Prabowo punya masalah hukum pidana," ungkap Mahfud di Rumah Polonia, Jakarta, Selasa (17/6/2014).
Mahfud menuturkan masyarakat saat ini melihat ada dua keputusan satu Kepres (Keputusan Presiden) yang menyatakan Prabowo diberhentikan dengan hormat. Satu lagi surat DKP (Dewan Kehormatan Perwira) yang merupakan rahasian negara yang dibocorkan.
Menyangkut status hukum Prabowo, membuat Mahfud menggandeng mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, untuk menjelaskan kedudukan hukumnya.
"Dia pernah terlibat dalam urusan ini. Sehingga perlu di-clearkan tentang status itu. Ada Kepres sebagai produk hukum administrasi yang mana isinya menjelaskan diberhentikan dengan hormat. Sehingga punya hak politik penuh dan tidak memiliki masalah hukum," jelasnya.
Menurut Abdul, setiap menghadapi pilpres memang gencar pemberitaan yang menyangkut pelanggaran HAM dengan dihubung-hubungkan kepada Prabowo Subianto. "Banyak yang tanya saya bagaimana awal dan ujung ceritanya. Saya menjawab sepanjang saya jadi Jaksa Agung kasus ini tidak pernah muncul karena memunculkan kasus itu syaratnya bukan politik tapi hukum. Saya menilai ini ritual lima tahuanan jadi bisa nanti diulang-diulang setiap pilpres karena tidak tahu ujung dan pangkalnya," urai Abdul.
Dia menjelaskan, seharusnya jika memang kasus pelanggaran HAM mau diusut tentu harus dimulai melalui DPR. "Selama menjabat Jaksa Agung dua tahun tujuh bulan, tidak pernah muncul (pembentukan peradilan HAM). Walau ada desakan membuka pelanggaran HAM, tapi saya menjawab desakannya jangan ke kami tapi ke DPR," paparnya.
Sampai saat ini, lanjut Abdul, kasus Semanggi I dan II merupakan pelanggaran HAM berat tidak terungkap. "Kalau Komnas HAM dan beberepa kelompok yang direkayasa atau tidak mengangkat kasus HAM tuntutannya bukan ke gedung bundar (Kejagung) tapi ke DPR," terangnya.
Dia pun menegaskan, isu pelanggaran HAM merupakan ritual lima tahunan politik-politikan. Artinya, ada upaya main-main dalam penyelesaian dan pengungkapannya.
"Jadi sejak saya berada di Gedung Bundar (Kejagung) desakan peradilan HAM selalu didorong. Tapi saya usulkan ke DPR karena itu perturan Undang-undang. Saat masuk DPR amblas. Ini menyesatkan masyarakat dan membuang waktu. Ini selalu diulang-ulang tapi saat berkolaborasi dengan ibu siapa itu jadi capres ya sepi itu isunya," tuntasnya. (ydh)
Download dan nikmati kemudahan mendapatkan berita melalui Okezone Apps di Android Anda.